Namaku Asri. Aku masih ingat waktu kecil teman-teman sebayaku memberi kepanjangan untuk namaku, Anak Sekolah Republik Indonesia (ASRI). Memang benar aku bersekolah di Indonesia. Namun, dari kecil mimpiku adalah bersekolah di luar negeri, Eropa tepatnya. Bagiku, Benua Biru itu begitu memesona, jauh berbeda dengan tempat kelahiran dan tempat aku dibesarkan.
Aku lahir di Kota Sorong, provinsi Papua Barat di Timur Indonesia. Ayahku adalah Pegawai Negeri Sipil Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Sorong. Aku dibesarkan di sebuah desa kecil yang disebut SP (Satuan Pemukiman). Ibuku adalah ibu rumah tangga biasa, yang punya pekerjaan bahkan lebih berat dari ayah. Ibu harus mengangkat air bersih dengan jarak yang lumayan jauh untuk keperluan sehari-hari kami, dikarenakan sumber air bersih di desa kami sangat terbatas.
. . .
16 AGUSTUS 2018
“Apa yang kamu pikirkan?” Ucap Munir mengagetkanku.
“Hmm, tidak.” Gumamku sambil terus memikirkan masa lalu sembari merasakan dinginnya air dari pancuran gua yang berlumut. Air yang jelas berbeda dengan air di desaku.
Aku dan Munir  di salah satu objek wisata yang cukup terkenal di Bali, air terjun tukad cepung di Bangli. Bali siang itu sama seperti biasanya, selalu ramai dengan turis lokal maupun mancanegara.
“Air terjun Tukad Cepung Bali.” Munir bergumam sambil memotret dengan telepon genggamnya.
Munir berasal dari Rusia. Kami telah saling mengenal 2 bulan, sejak ia menyewa kamar yang sederetan dengan kamarku. Ia telah 1 tahun belajar Bahasa Indonesia secara otodidak. Ia bekerja sebagai penerjemah di salah satu perusahaan di Bali.
 “Besok adalah hari kemerdekaan Indonesia bukan?” Tanya Munir saat kami melangkah keluar dari kawasan air terjun.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Pasti akan ada upacara, apa kau akan menghadirinya?” Sambungnya.
“Mungkin aku akan tertidur besok.” Spontan aku merespon.
Tiga puluh menit kemudian, aku dan Munir berada di salah satu kedai kecil di Kuta. Munir segera memesan jus sirsak kesukaannya.
“Kau sangat beruntung lahir di Indonesia, di negaraku kami tidak memiliki tanaman seperti sirsak, mangga, apalagi pepaya.” Ujar Munir memulai percakapan sambil menikmati minumannya dari sedotan.
“Lalu, kalian sering makan buah apa?” Penasaran aku bertanya.
“Kami hanya memiliki apel dan jeruk, semua di impor dari Meksiko atau Turki. Satu hal lagi, kami tidak memiliki pantai seperti di sini.” Jelasnya.
Mendengar kata pantai,  aku jadi teringat Raja Ampat. “Apa kau pernah dengar tentang pulau Raja Ampat?”
“Tidak!” Tandasnya.
“Pulau itu berada di Timur Indonesia, di Papua. Pantainya sangat indah.” Terangku.
“Aku akan jadi orang yang sangat beruntung jika bisa ke tempat itu” Kata Munir gembira.
Belum lagi aku menjelaskan bagaimana Pulau Raja Ampat lebih lanjut, Munir sudah memberi pernyataan kegembiraannya, seakan dia tahu keindahan pantai dan senja di sana. Seakan dia juga tahu bahwa tempat aku dibesarkan tidak jauh dari Raja Ampat. Tapi, tentu saja aku tidak akan mengatakannya. Selama ini, aku tidak pernah memberitahu siapa pun dari mana aku berasal. Terlebih lagi kepada teman mancanegaraku. Mereka akan sangat bertanya, apalagi tidak ada situs dalam Bahasa Inggris yang menyediakan informasi tentang desa kecilku di google.
Malam itu, kami lalui dengan berdiskusi tentang beberapa daerah di Indonesia. Setelah pukul 10 malam, kami lalu pulang dan beristirahat. Aku pulang dengan tanda tanya besar, tentang Munir dan pemikirannya. Kenapa ia begitu antusias dengan negeriku. Jika ku bandingkan dengan kota Moscow yang memiliki sejuta bangunan unik yang megah, dia seharusnya antusias menarasikan negerinya. Meskipun aku belum pernah ke sana, tapi semua orang tahu bahwa Rusia adalah Negara maju yang memiliki persenjataan dan politik hebat yang bahkan ditakutkan Si Adi Kuasa, Amerika Serikat.
. . .
17 AGUSTUS 2018
Pagi hari pukul 9, aku terbangun karena suara bising di kompleks tempat aku tinggal.
“Sudah bangun? Ini aku Munir, ayo bangun! Ada kabar baru. Tidak ke upacara?” Sambil teriak, Munir mengetuk pintu kamarku.
“Iya-iya” Sahutku malas.
Setelah mencuci muka dan mengganti piamaku. Aku kemudian membukakan pintu untuknya.
 It’s not your business, ada apa?” Jawabku kesal karena masih sangat mengantuk.
“Kau tidak lihat? Di you tube sedang viral seorang anak memanjat bendera.” Sambung Munir sembari menunjukkan smartphonenya padaku.
“Maksudmu tiang bendera?” Tanyaku sambil tetap menatap layar handphonenya.
Di layar ukuran 5 cm itu,  aku melihat seorang anak yang sedang memanjat tiang kecil sangat tinggi.
“Apa yang terjadi?”
“Lihat saja, dia akan mengambil tali itu, talinya putus saat proses upacara.’’ Jawab Munir.
Video berdurasi pendek itu menunjukkan atraksi seorang anak kecil memanjat hingga ujung tiang bendera dan membawa talinya lalu turun dengan senyuman.
“Dia berasal dari Nusa Tenggara Timur, aku sangat ingin kesana.” Kata Munir antusias sembari berjalan ke arah kamarnya.

Beberapa menit setelah menikmati sarapan pagiku, aku mulai merasa penasaran dengan video yang ditunjukkan Munir padaku. Aku mulai mencari di google.
Pada proses upacara ke-73 tahun di provinsi Nusa Tenggara Timur, upacra sempat terhenti dikarenakan insiden terlepasnya tali dari tiang bendera.  Seorang anak bernama Joni memanjat tiang bendera setinggi 23 meter demi kelancaran upacara. Joni adalah seorang siswa SMP kelas VII di Desa Silawan Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, yang merupakan perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Ia sontak memanjat tiang bendera untuk memperbaiki tali yang putus. Aksi heroik Joni adalah bentuk rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Untuk penghargaan terhadap Joni, besok ia akan dipertemukan dengan presiden Indonesia Jokowi. Ketika ditanya apa yang akan ia minta dari jokowi, Joni mengatakan ia ingin Jokowi menambah  ruangan sekolahnya yang sangat terbatas. Karena selama ini ia dan kawan-kawan harus bersekolah di siang hari akibat keterbatasan ruangan, ia juga ingin pendidikan gratis untuknya dan teman-temannya.
Begitulah informasi yang aku dapatkan. Seketika mataku berair. Cerita tentang Joni adalah pelajaran kemerdekaan. Untukku secara pribadi, aksi yang dilakukaan Joni adalah reinkarnasi kepahlawanan yang menjadi refleksi untuk diriku dan membuatku berkontemplasi.
KONTEMPLASI PERTAMA
Memang tidak salah bermimpi bersekolah di luar negeri. Namun, menganggap superior benua atau negara lain adalah salah. Inilah negeriku, Bumi Pertiwi.  Tempat ragaku menghirup oksigen, tempat sanubariku mendapat cinta. Seharusnya, aku mencintai negeri ini. Jika Munir saja mengagumi negeriku. Lalu bagaimana denganku? Betapa bodohnya aku selama ini membanggakan negeri lain.
KONTEMPLASI KEDUA
Aku harusnya tidak malu menceritakan dari mana aku berasal kepada teman-temanku. Meski dari desa kecil yang bermasalah dengan sumber air bersih. Aku juga perlu ingat dan bersyukur tentang sungai jernih yang tak jauh dari rumah, pohon mangga di samping rumah yang selalu berbuah manis, dan rumput liar yang ternyata adalah sayuran yang bisa dimasak.  Aku harusnya bangga, dengan alam Indonesia, terlepas dari keterbatasan yang dimiliki. Negeriku ini, begitu masyhur dengan keindahannya, yang unik dan berbeda dari tempat lain dibelahan dunia manapun..
KONTEMPLASI KETIGA
Sepantasnya aku melakukan sesuatu untuk negeri ini, seperti yang dilakukan Joni kecil. Bukankah Joni tinggal di daerah perbatasan yang benar-benar terbatas? Tapi Joni tetap menghadari upacara di 73 tahun kemerdekaan, meski mungkin saja dia tidak sarapan dan tidak memiliki seragam dan sepatu yang layak.  Aku menyesal tak pernah menghadiri upacara setelah tamat dari SMA. Malu pada diriku sendiri. Padahal aku tahu benar melalui pelajaran sejarah yang ku dapat semasa bersekolah,  bagaimana sejarah berdarah perjuangan kemerdekaan dan gugurnya para pahlawan di negeriku.  
KONTEMPLASI AKHIRKU
Kemudian terpatri di dadaku akan terus melanjutkan mimpi bersekolah di luar negeri. Tapi kali ini berbeda, entah dimanapun itu. Aku akan pergi. Aku akan menuntut ilmu sejauh mungkin demi negeriku dan pulang membagikannya kepada generasi penerus bangsa yang lain. Agar negeriku lebih maju, agar segala keterbatasan dapat diatasi. Aku akan bermimpi dan mewujudkannya demi Bumi Pertiwi, tempat badanku berpijak dan akhir ragaku akan ditanam. Untuk kemerdekaan ini, terimakasih karena telah menjadi kontemplasi panjangku.


"Cerita fiktif ini ku buat berdasarkan fenomena banyaknya remaja masa kini yang kurang mencintai negerinya sendiri. Juga berdasarkan cerita Joni yang viral di media sosial."

NASI KUCING
Daging Kucing? Atau untuk kucing?

Embun dan udara pagi Yogyakarta yang dingin menyambut kereta Malioboro Express di stasiun Tugu. Aci keluar dengan wajah kantuk, rambut acakan dan tas converse di punggungnya, ia menarik nafas panjang menghirup udara segar. Ini adalah kali pertamanya naik kereta. Setelah menempuh empat jam perjalanan dari Kediri, ia masih tidak percaya ia berada di Yogyakarta, satu-satunya Daerah Istimewa di Indonesia. Yogyakarta memang tidak ada dalam daftar daerah yang ingin ia kunjungi. Selama kuliah, ia selalu memimpikan pergi ke Kampung Inggris Pare dan Bali. Dan ia telah mewujudkannya, sudah dua bulan ia mengambil kursus TOEFL (Test of English as a Foreign Language) di Kampung Inggris, dan Yogyakarta adalah sedikit hadiah liburan yang ia dapatkan. Bukan Bali, tapi Yogyakarta. Sambil menghela nafas, Aci melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Selama empat jam di dalam kereta, pikirannya melayang-layang memikirkan tempat apa yang akan ia kunjungi nanti. Tentu saja ada Candi Prambanan dan Borobudur, tapi ia menginkankan sesuatu berbeda dari liburannya di Jogja.
Ia kini telah berada tepat di hadapan sebuah gedung besar berkilap cahaya, rupanya itu adalah sebuah hotel. Menyadari bahwa ia tidak akan check-in di kamar hotel itu, ia menahan kantuk dan lelah. Harapannya jatuh pada seorang teman yang sudah ia kirimi pesan siang hari sebelum keberangkatannya menuju Jogja. Seorang teman dari Maluku Utara, tempat asalnya.  Temannya itu telah dua tahun berkuliah di Jogja, Astuti namanya. Astuti mengatakan bahwa ia akan dijemput oleh seorang lelaki bernama Apoel yang menggunakan motor mio merah. Aci memperhatikan satu persatu kendaraan yang lewat. Setelah sepuluh menit berlalu, ponselnya bordering. Suara seorang laki-laki menyapanya. Apoel mengatakan bahwa ia berada tepat di samping mobil avanza berwarna silver. Memalingkan wajahnya ke kiri, Aci melihat seorang lelaki muda dengan style Rock N Roll duduk membungkuk di atas motor mio merah. “Apoel yah?” Tanya Aci lega. Beberapa menit kemudian motor mio milik Apoel mengantarkan Aci ke kosan Tuti.
  Setengah mengantuk,  Aci menatap sosok wanita di dinding kamar Tuti. Marsinah pahlawan buruh yang pernah diperkosa dan dibunuh, begitu menurut sejarah. Tentu saja Tuti menaruh poster wanita itu di dinding kamarnya, maklumlah ia seorang aktivis perempuan. Sejak masih studi s1 di Maluku Utara, Tuti selalu aktif dalam setiap pergerakan perempuan. Membela hak-hak perempuan, ia juga aktif menulis tentang perempuan dan kesetaraan gender di majalah kampus. Pagi itu masih berbaring di kasur kamar Tuti yang berukuran dua badan ala anak kos. Aci mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan teman yang mau menampungnya di belahan dunia Jawa, saat ia sedang melarikan diri dari penatnya mengejar skor TOEFL sebagai persyaratan beasiswa di Kampung Inggris. Mereka bertemu karena hal-hal memanusiakan manusia, pada sebuah komunitas yang diberi nama Literasi Jalanan.
“minum teh?”, suara Tuti dari balik pintu kamar. “boleh, kamu dimana?”, sahut Aci sembari bangkit dari tidurnya.
Tuti datang dari balik pintu dengan segelas teh hangat di tangannya,
“hari ini mau kemana?” Tanya Tuti sambil memberi teh pada Aci.
“entahlah, apa kamu punya  saran?” jawab Aci balik bertanya.
“Kamu, bisa jalan-jalan ke Malioboro. Disana banyak batik Yogyakarta, bakpia, pokoknya oleh-oleh khas Yogyakarta. Tapi hari ini, aku tidak bisa menemanimu. Aku harus mengurus penjilidan tesisku dan adminitrasi untuk keperluan wisuda pascasarjanaku. Apoel akan menemanimu, kamu mau?” Tuti berbicara sambil membereskan kamarnya.
“tentu saja, aku sangat senang punya teman baru disini.” Aci menjawab spontan pertanyaan Tuti.
Sore harinya, Aci duduk di bangku seputaran jalan Malioboro bersama lelaki yang baru  saja dikenalnya. Sejak dalam perjalanan, lelaki yang disapa Apoel itu terus menceritakan pengalamannya berada di Jogja. Ia juga menceritakan tentang tempat-tempat yang menjadi objek wisata yang patut dikunjungi di Jogja. Seperti taman Pintar, taman budaya, candi-candi, kali biru, dan air terjun kaliurang, kuliner-kuliner khas Jogja seperti gudeg, dan nasi kucing. Setelah menikmati es durian, mereka lalu lanjut mencari makan siang.
“kamu udah nyobain gudeg atau nasi kucing? Belum lengkap ke Jogja, kalau belum makan dua makanan khas ini”, kata Apoel dalam perjalanan.
“Oh, tidak terimakasih. Katanya gudeg itu manis, aku kurang suka makanan manis, dan nasi kucing?” jawab Aci sambil mengernyitkan keningnya.
Ternyata bukan Cuma di Manado daerah yang mengonsumsi daging kucing, tapi disini juga. Astaga, berarti pria yang menggoncengnya ini adalah pemakan daging kucing. Aci berpikir sambil menggigit bibirnya. Hatinya miris mendengar ada seseorang yang mengajak memakan daging kucing saat dia adalah wanita pencinta kucing. Ia jadi teringat dengan Bobo, kucing putih di rumahnya yang sangat penurut. “apa kita tidak bisa makan yang lain? Atau lebih baik kita beli sayuran dan ikan, akan ku masak di kosan Tuti, bagaimana?” saran Aci.
Beberapa jam kemudian, sayur kangkung dan ikan pindang hasil masakan Aci sudah tersedia di lantai kamar kos Tuti. Bertiga, Aci, Tuti, dan Apoel menikmati makan siang mereka. Saat menyantap makanan, Aci teringat pada nasi kucing yang dibicarakan Apoel, tapi ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mencuil daging ikan dan menyantapnya perlahan. Pikirannya masih melayang-layang pada nasi dengan daging kucing. Bagaimana makanan itu dibuat? Bagaimana cara mereka menyembelih kucing? Membersihkan bulunya? Membayangkan semua itu membuat Aci ingin muntah. Bagaimana mungkin kota yang begitu istimewa yang khas dengan batiknya itu, masyarakatnya memiliki budaya aneh yaitu memakan daging kucing.
“datang ke Yogyakarta tapi nggak nyobain nasi kucing, mending nggak usah ke Jogja deh.” Kata apoel sambil menghabiskan suapan nasi terakhirnya.
“apa kalian bisa makan daging kucing? Apa kalian tidak jijik? Atau mengkin mengasihani kucing yang dibunuh itu? Jawab Aci spontan.
Tuti dan Apoel kompak membelalak pada Aci.
“tentu saja, kenapa tidak? Daging kucing sangat enak apalagi kalau di tambah sambal atau disaos. Hmmmm.” Tuti menjawab sambil meneguk es tehnya.
“iya, betul, daging kucing benar-benar enak.”sambung Apoel. “tidak, tidak aku tidak akan mencoba nasi kucing, meskipun itu kebiasaan masyarakat disini. Aku adalah pencinta kucing.”  Aci marah-marah.
“ya sudah ini kan hanya saran buat kamu.” Apoel mencoba menenangkan Aci.
Malam itu waktu menunjukkan pukul 8 saat Aci, Tuti dan Apoel sudah neces dengan pakaiannya. Setelah makan siang, mereka sepakat untuk nongkrong di angkringan (sebutan untuk warung kecil di pinggir jalan di daerah Jogja) terdekat saat malam tiba. Menit selanjutnya mereka bertiga sudah berada pada angkiran terdekat yang berada di pinggir jalan. Warung kecil berukuran 3x4 itu dibuat dari tenda dan  kayu. Lampu di warung kecil itu agak redup, tapi inilah yang menjadikan tempat ini nyaman, karena ketika lampu di angkiran itu redup. Pengunjung dapat menyaksikan gemerlap Jogja diluar. Aci dan  tuti, keduanya sibuk dengan handphone mereka, sementara Apoel sedang memesan pesanan mereka, beberapa menit kemudian penjual angkirangan itu datang membawa pesanan mereka dibantu oleh Apoel.  Kopi untuk Apoel dan Tuti, serta wedang jahe (minuman hangat yang dicampur jahe dan gula)  pesanan Aci. Semenjak dari Kediri Aci memang sudah menyukai wedang jahe, sementara Tuti dan Apoel adalah pecinta kopi. Apoel membawa 3 bungkusan kecil dan gorengan di piring lalu meletakkannya di meja kecil tempat ketiganya sedang duduk.
“wah, gorengan, asyik! Tempe goreng” Aci berkata sambil mengambil tempe. Belum selesai mengunyah tempe Aci mengambil bungkusan kecil di depannya.
”apa ini?” ia bertanya sembari membuka bungkusan. Bungkusan kecil dari kertas itu, didalamnya terdapat daun pisang, daun itu digunakan untuk membungkus sambal teri dan tempe bersama nasi. Aci sangat menyukai teri. Ia langsung melahap isi bungkusan tadi. Tuti dan apoel menatap Aci lama dan kemudian tertawa bersama-sama.
“kenapa? Ada yang aneh? Nasi ini sangat enak.” Sahut Aci membalas Tawa mereka.
“yang kamu makan itu nasi kucing Ci.” Kata Apoel sambil terus tertawa.
“Apa? Ini nasi kucing?” Tanya Aci tak percaya.
“iya, chy nasi kucing yang apoel ceritakan itu ya ini. Masyarakat jogja menyebutnya nasi kucing karena nasinya sedikit seperti makanan kucing. Nasi kucing ini terdiri dari berbagai macam lauk. Jenis lauk yang disediakan biasanya ikan dan tempe. Bahan lain yang dapat ditambahkan yaitu telur, ayam, dan mentimun. Disajikan dengan daun pisang dan bisa langsung disantap. Variasi dari nasi kucing adalah sego macan (nasi macan), ukurannya tiga kali lebih besar dibandingkan nasi kucing. Biasanya disajikan dengan nasi yang dibakar, ikan, dan sayuran. Seperti nasi kucing, sego macan juga dibungkus daun pisang. Nasi ini tersedia di setiap angkiran di Jogja dan terbilang murah” Tuti mencoba menjelaskan.
“ku pikir nasi kucing itu nasi yang dimasak dengan daging kucing, soalnya di daerah Manado ada yang seperti itu.” Aci tersipu malu.
Malam itu berakhir dengan gelak tawa Apoel dan Tuti.
Ternate, 29 April 2017
Perkenalkan nama saya Asri Juniati Soamole, saat saya menulis ini saya berumur 23 tahun dan sudah 9 bulan lulus sebagai sarjana pendidikan dari Universitas Khairun Ternate. Saya berkuliah selam 3 tahun 7 bulan di program studi Bahasa Inggris. Saya akan menceritakan sedikit tentang masa kuliah saya. Dulu sebelum kuliah saya berkerja pada salah satu perusahaan tambang sebagai administrasi dispatcher. Pada saat melamar pekerjaan di perusahaan ini, saya menggunakan ijazah paket C dari salah satu SMA di Jayapura. Hidup telah mengantarkan saya pada tragedi keluarga  yang membuat saya putus sekolah. Selama tujuh tahun bekerja, saya merasa begitu minder. Rekan kerja saya hamper semua adalah lulusan s1. Seperti sarjana ekonomi, pertambangan, parawisata, dll. Setiap kali rapat, pendapat orang-orang ini sangat kritis dan dihargai. Sementara saat saya tidak dapat menjangkau pembicaraan mereka, bukan karena tidak mau, tapi memang saya merasa kurang dan tidak pantas. Bulan ketujuh dalam masa kerja saya, saya memutuskan untuk resign dan berkuliah. Dengan bantuan gaji yang telah saya kumpulkan, bermodal nekat saya lalu kuliah.
Saat semester satu, saya hanya datang ke tempat kuliah dengan tujuan ingin cepat selesai dan mencari pekerjaan lalu menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Saya memiliki tiga orang adik dan satu orang kakak perempuan. saat berhenti sekolah dulu, berbagai macam perkerjaan telah saya lakukan seperti menjaga warnet, bekerja di salon, menjadi penyiar radio, dan terakhir adalah menjadi MC untuk perusahaan rokok di Jayapura. Waktu berlalu, saya dipertemukan dengan teman-teman hebat dan baik hati, yang kemudian selalu menyemangati saya dalam menununtut ilmu. Di tengah perjalanan kuliah, ayah saya berpulang. Saya memang masih memiliki ibu, namun sudah 10 tahun lamanya sejak ibu saya memutuskan untuk memilih hidupnya sendiri dengan meninggalkan kami berlima. Semua kejadian ini tidak membuat saya menyerah, dengan cepat saya menyelesaikan kuliah saya.
Pada 10 November 2015, pada sebuah acara yang memperingati hari pahlawan di Universitas Terbuka. Saya bertemu dengan seorang kawan yang akrab dipanggil Iki. Setelah beberapa kali, saya mengikuti Iki saya melihat dunia yang berbeda. Sebuah dunia yang lain. Dunia pendidikan, dunia literasi. Pendidikan, kepedulian, kemanusiaan semua ini saya dapatkan pada sebuah komunitas yang dikoordinir oleh Iki yang bernama Literasi Jalanan. Kini, sudah satu tahun lebih saya menjadi relawan di Literasi Jalanan. Selama satu tahun, saya merasa saya menjadi relawan tanpa tujuan, tanpa ideologi.
Lalu, suatu malam saya mendapatkan  pencerahan akan hidup saya. Melakukan sesuatu untuk membalas apa yang Ilahi beri kepada saya. Saya hanya ingin itu. Apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya punya satu. Pendidikan. Baiklah, pertama-tama saya akan jabarkan kondisi anak-anak yang ingin kita bina.
1.       Mereka adalah anak-anak yang sebagiannya bermukim di kawasan pasar dan sekitarnya. Mungkin pasar tidak bisa di bilang kumuh, namun apakah pasar adalah tempat yang pantas  untuk pertumbuhan anak? Ketika orang tua sibuk dengan pekerjaannya berjualan, lalu anak-anak akan disuruh membantu sebagian dari pekerjaan mereka. Adakah kesempatan anak-anak untuk belajar di rumah selain di sekolah atau kesempatan memikirkan dan membangun cita-cita mereka? Sebagian dari mereka bahkan memutuskan untuk berhenti sekolah, karena merasa sudah bisa mencari uang. Apa yang lebih penting antara uang dan pengetahuan?

2.       Anak-anak ini, bukan saya katakan tidak memiliki moral atau karakter yang bagus. Hanya saja, melihat kondisi pasar yang rawan dengan pergaulan bebas remaja seperti menghisap lem, mabuk-mabukan. Bukan tidak mungkin jika anak-anak di bawah umur akan mengikuti jejak-jejak kakaknya atau mungkin lebih jauh ke pergaulan bebas.

3.       Perlu ada yang membekali anak-anak ini dengan pengetahuan tentang kesehatan seperti gizi yang baik, kesehatan reproduksi, dan kesehatan dalam berpikir. Setidaknya hal ini akan mencegah mereka dari kekerasan dan kasus-kasus pelecehan yang saat ini banyak terjadi di Maluku Utara.
Untuk satu tahun menjadi relawan literasi jalanan, yang kadang banyak tidak aktifnya karena kepentingan pribadi hanya ketiga hal diatas yang bisa saya identifikasi.
Pernah, kami memiliki rumah belajar pada 2 Mei 2016, namun rumah belajar itu harus digusur mengikuti pembangunan pasar yang ditetapkan pemerintah Kota Ternate.
Kini, kami mendapatkan rumah belajar yang baru yang dipercayakan oleh salah satu orang tua anak-anak yang kami bina. Rumah belajar itu, baru saja kami cat, dan akan kami aktifkan kembali. Malam ini saya berpikir tentang hal-hal apa yang akan saya dan teman-teman persiapkan untuk diajarkan kepada adik-adik. Biasanya secara subjektif saya akan mengatakan Bahasa Inggris, matematika, PPKN. Namun, saya sadar bahwa hal sebenarnya yang harus kita bentuk dan ajarkan adalah pendidikan karakter, kepemimpinan dan kreatifitas. Apakah saya benar? Bismillah!! Semangat!!! Man Jadda Wa Jadda !!! Siapa bersungguh-sungguh dia yang menuai hasil.




Lautan yang membentang
Langit yang menganga
Memanggil angin menyentuh kalbu ini
Hingga dapat ku sadari kebesaranMu
Dan benar …
Bumi itu Ma’rifat
Langit adalah iman
Kerinduanku padaMu bak ombak yang bergulung
Di antara warna birunya lautan dan hijaunya pepohonan
Ku sucikan kalbu dan jiwa hanya untukMu
Rabbiku


Siapa dia ?
Sosok yang duduk bertatapan dengan kaum penjajah pengetahuan selama masa hayat
Siapa dia ?
Upahnya tak lebih dari mereka...
Mereka yang duduk di singgasana
Berlakon membela rakyat.
Dia...
Adalah sosok yang membawa pelita ilmu.
Meraba kebodohan dalam gelapnya zaman.
Dia adalah gurumu...
Yang berhikayat tentang satu ditambah satu adalah dua
Berhikayat tentang Nusantara, tentang angkasa yang membuka cakrawala
Hingga mata menganga sebuah dunia yang penuh cita.

                                        Asri J. Soamole
                                        Ternate, 25/11/15

Teruntuk seluruh guru di dunia
Terimakasihku, Selamat Hari Guru


Dingin
Ada bau semen
Bercampur bau mimpi
Terlihat seperti jeruji
Lalu ada mata sinis
Terlalu sadis
Membuat  hati teriris
Oh…sunggguh miris
Bangsa ….
Menganga….
Tengadah
Bersembah…
Dimana rasa iba
Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post (Slider)

Combine

Horizontal

My Gallery

Portfolio

Contact us

about me

Foto saya
Ternate, Maluku Utara, Indonesia
Saya adalah seseorang yang akan mencuri waktu untuk menulis

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Pages

Flickr Images

Like us on Facebook

Top 10 Articles