NASI KUCING
Daging Kucing? Atau
untuk kucing?
Embun dan udara
pagi Yogyakarta yang dingin menyambut kereta Malioboro Express di stasiun Tugu.
Aci keluar dengan wajah kantuk, rambut acakan dan tas converse di punggungnya,
ia menarik nafas panjang menghirup udara segar. Ini adalah kali pertamanya naik
kereta. Setelah menempuh empat jam perjalanan dari Kediri, ia masih tidak
percaya ia berada di Yogyakarta, satu-satunya Daerah Istimewa di Indonesia. Yogyakarta
memang tidak ada dalam daftar daerah yang ingin ia kunjungi. Selama kuliah, ia selalu
memimpikan pergi ke Kampung Inggris Pare dan Bali. Dan ia telah mewujudkannya,
sudah dua bulan ia mengambil kursus TOEFL (Test of English as a Foreign
Language) di Kampung Inggris, dan Yogyakarta adalah sedikit hadiah liburan yang
ia dapatkan. Bukan Bali, tapi Yogyakarta. Sambil menghela nafas, Aci
melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Selama empat jam di dalam kereta,
pikirannya melayang-layang memikirkan tempat apa yang akan ia kunjungi nanti.
Tentu saja ada Candi Prambanan dan Borobudur, tapi ia menginkankan sesuatu
berbeda dari liburannya di Jogja.
Ia kini telah
berada tepat di hadapan sebuah gedung besar berkilap cahaya, rupanya itu adalah
sebuah hotel. Menyadari bahwa ia tidak akan check-in di kamar hotel itu, ia
menahan kantuk dan lelah. Harapannya jatuh pada seorang teman yang sudah ia
kirimi pesan siang hari sebelum keberangkatannya menuju Jogja. Seorang teman dari
Maluku Utara, tempat asalnya. Temannya
itu telah dua tahun berkuliah di Jogja, Astuti namanya. Astuti mengatakan bahwa
ia akan dijemput oleh seorang lelaki bernama Apoel yang menggunakan motor mio
merah. Aci memperhatikan satu persatu kendaraan yang lewat. Setelah sepuluh
menit berlalu, ponselnya bordering. Suara seorang laki-laki menyapanya. Apoel mengatakan
bahwa ia berada tepat di samping mobil avanza berwarna silver. Memalingkan
wajahnya ke kiri, Aci melihat seorang lelaki muda dengan style Rock N Roll
duduk membungkuk di atas motor mio merah. “Apoel yah?” Tanya Aci lega. Beberapa
menit kemudian motor mio milik Apoel mengantarkan Aci ke kosan Tuti.
Setengah mengantuk, Aci menatap sosok wanita di dinding kamar
Tuti. Marsinah pahlawan buruh yang pernah diperkosa dan dibunuh, begitu menurut
sejarah. Tentu saja Tuti menaruh poster wanita itu di dinding kamarnya,
maklumlah ia seorang aktivis perempuan. Sejak masih studi s1 di Maluku Utara,
Tuti selalu aktif dalam setiap pergerakan perempuan. Membela hak-hak perempuan,
ia juga aktif menulis tentang perempuan dan kesetaraan gender di majalah
kampus. Pagi itu masih berbaring di kasur kamar Tuti yang berukuran dua badan
ala anak kos. Aci mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan teman yang
mau menampungnya di belahan dunia Jawa, saat ia sedang melarikan diri dari
penatnya mengejar skor TOEFL sebagai persyaratan beasiswa di Kampung Inggris.
Mereka bertemu karena hal-hal memanusiakan manusia, pada sebuah komunitas yang
diberi nama Literasi Jalanan.
“minum teh?”,
suara Tuti dari balik pintu kamar. “boleh, kamu dimana?”, sahut Aci sembari bangkit
dari tidurnya.
Tuti datang dari
balik pintu dengan segelas teh hangat di tangannya,
“hari ini mau
kemana?” Tanya Tuti sambil memberi teh pada Aci.
“entahlah, apa
kamu punya saran?” jawab Aci balik
bertanya.
“Kamu, bisa
jalan-jalan ke Malioboro. Disana banyak batik Yogyakarta, bakpia, pokoknya
oleh-oleh khas Yogyakarta. Tapi hari ini, aku tidak bisa menemanimu. Aku harus
mengurus penjilidan tesisku dan adminitrasi untuk keperluan wisuda
pascasarjanaku. Apoel akan menemanimu, kamu mau?” Tuti berbicara sambil
membereskan kamarnya.
“tentu saja, aku
sangat senang punya teman baru disini.” Aci menjawab spontan pertanyaan Tuti.
Sore harinya, Aci
duduk di bangku seputaran jalan Malioboro bersama lelaki yang baru saja dikenalnya. Sejak dalam perjalanan,
lelaki yang disapa Apoel itu terus menceritakan pengalamannya berada di Jogja. Ia
juga menceritakan tentang tempat-tempat yang menjadi objek wisata yang patut
dikunjungi di Jogja. Seperti taman Pintar, taman budaya, candi-candi, kali
biru, dan air terjun kaliurang, kuliner-kuliner khas Jogja seperti gudeg, dan
nasi kucing. Setelah menikmati es durian, mereka lalu lanjut mencari makan
siang.
“kamu udah nyobain
gudeg atau nasi kucing? Belum lengkap ke Jogja, kalau belum makan dua makanan
khas ini”, kata Apoel dalam perjalanan.
“Oh, tidak
terimakasih. Katanya gudeg itu manis, aku kurang suka makanan manis, dan nasi
kucing?” jawab Aci sambil mengernyitkan keningnya.
Ternyata bukan
Cuma di Manado daerah yang mengonsumsi daging kucing, tapi disini juga. Astaga,
berarti pria yang menggoncengnya ini adalah pemakan daging kucing. Aci berpikir
sambil menggigit bibirnya. Hatinya miris mendengar ada seseorang yang mengajak
memakan daging kucing saat dia adalah wanita pencinta kucing. Ia jadi teringat
dengan Bobo, kucing putih di rumahnya yang sangat penurut. “apa kita tidak bisa
makan yang lain? Atau lebih baik kita beli sayuran dan ikan, akan ku masak di
kosan Tuti, bagaimana?” saran Aci.
Beberapa jam
kemudian, sayur kangkung dan ikan pindang hasil masakan Aci sudah tersedia di
lantai kamar kos Tuti. Bertiga, Aci, Tuti, dan Apoel menikmati makan siang
mereka. Saat menyantap makanan, Aci teringat pada nasi kucing yang dibicarakan
Apoel, tapi ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mencuil daging ikan dan
menyantapnya perlahan. Pikirannya masih melayang-layang pada nasi dengan daging
kucing. Bagaimana makanan itu dibuat? Bagaimana cara mereka menyembelih kucing?
Membersihkan bulunya? Membayangkan semua itu membuat Aci ingin muntah.
Bagaimana mungkin kota yang begitu istimewa yang khas dengan batiknya itu,
masyarakatnya memiliki budaya aneh yaitu memakan daging kucing.
“datang ke
Yogyakarta tapi nggak nyobain nasi kucing, mending nggak usah ke Jogja deh.”
Kata apoel sambil menghabiskan suapan nasi terakhirnya.
“apa kalian bisa
makan daging kucing? Apa kalian tidak jijik? Atau mengkin mengasihani kucing
yang dibunuh itu? Jawab Aci spontan.
Tuti dan Apoel
kompak membelalak pada Aci.
“tentu saja,
kenapa tidak? Daging kucing sangat enak apalagi kalau di tambah sambal atau
disaos. Hmmmm.” Tuti menjawab sambil meneguk es tehnya.
“iya, betul,
daging kucing benar-benar enak.”sambung Apoel. “tidak, tidak aku tidak akan
mencoba nasi kucing, meskipun itu kebiasaan masyarakat disini. Aku adalah
pencinta kucing.” Aci marah-marah.
“ya sudah ini kan
hanya saran buat kamu.” Apoel mencoba menenangkan Aci.
Malam itu waktu menunjukkan pukul 8 saat Aci, Tuti
dan Apoel sudah neces dengan pakaiannya. Setelah makan siang, mereka sepakat
untuk nongkrong di angkringan (sebutan untuk warung kecil di pinggir jalan di
daerah Jogja) terdekat saat malam tiba. Menit selanjutnya mereka bertiga sudah
berada pada angkiran terdekat yang berada di pinggir jalan. Warung kecil
berukuran 3x4 itu dibuat dari tenda dan kayu.
Lampu di warung kecil itu agak redup, tapi inilah yang menjadikan tempat ini
nyaman, karena ketika lampu di angkiran itu redup. Pengunjung dapat menyaksikan
gemerlap Jogja diluar. Aci dan tuti, keduanya
sibuk dengan handphone mereka, sementara Apoel sedang memesan pesanan mereka, beberapa
menit kemudian penjual angkirangan itu datang membawa pesanan mereka dibantu
oleh Apoel. Kopi untuk Apoel dan Tuti, serta
wedang jahe (minuman hangat yang dicampur jahe dan gula) pesanan Aci. Semenjak dari Kediri Aci memang
sudah menyukai wedang jahe, sementara Tuti dan Apoel adalah pecinta kopi. Apoel
membawa 3 bungkusan kecil dan gorengan di piring lalu meletakkannya di meja
kecil tempat ketiganya sedang duduk.
“wah, gorengan, asyik! Tempe goreng” Aci berkata
sambil mengambil tempe. Belum selesai mengunyah tempe Aci mengambil bungkusan
kecil di depannya.
”apa ini?” ia bertanya sembari membuka bungkusan.
Bungkusan kecil dari kertas itu, didalamnya terdapat daun pisang, daun itu
digunakan untuk membungkus sambal teri dan tempe bersama nasi. Aci sangat
menyukai teri. Ia langsung melahap isi bungkusan tadi. Tuti dan apoel menatap
Aci lama dan kemudian tertawa bersama-sama.
“kenapa? Ada yang aneh? Nasi ini sangat enak.” Sahut
Aci membalas Tawa mereka.
“yang kamu makan itu nasi kucing Ci.” Kata Apoel
sambil terus tertawa.
“Apa? Ini nasi kucing?” Tanya Aci tak percaya.
“iya, chy nasi kucing yang apoel ceritakan itu ya
ini. Masyarakat jogja menyebutnya nasi kucing karena nasinya sedikit seperti
makanan kucing. Nasi kucing ini terdiri dari berbagai macam lauk. Jenis lauk
yang disediakan biasanya ikan dan tempe. Bahan
lain yang dapat ditambahkan yaitu telur, ayam, dan mentimun. Disajikan dengan daun pisang dan
bisa langsung disantap. Variasi dari nasi kucing adalah sego
macan (nasi macan), ukurannya tiga kali lebih besar dibandingkan nasi
kucing. Biasanya disajikan dengan nasi yang dibakar, ikan, dan sayuran. Seperti
nasi kucing, sego macan juga dibungkus daun pisang. Nasi ini
tersedia di setiap angkiran di Jogja dan terbilang murah” Tuti mencoba
menjelaskan.
“ku pikir nasi kucing itu nasi yang dimasak dengan
daging kucing, soalnya di daerah Manado ada yang seperti itu.” Aci tersipu
malu.
Malam itu berakhir dengan gelak tawa Apoel dan Tuti.
0 komentar:
Posting Komentar