Kolom Sastra : CERPEN

by 21.27 0 komentar
NASI KUCING
Daging Kucing? Atau untuk kucing?

Embun dan udara pagi Yogyakarta yang dingin menyambut kereta Malioboro Express di stasiun Tugu. Aci keluar dengan wajah kantuk, rambut acakan dan tas converse di punggungnya, ia menarik nafas panjang menghirup udara segar. Ini adalah kali pertamanya naik kereta. Setelah menempuh empat jam perjalanan dari Kediri, ia masih tidak percaya ia berada di Yogyakarta, satu-satunya Daerah Istimewa di Indonesia. Yogyakarta memang tidak ada dalam daftar daerah yang ingin ia kunjungi. Selama kuliah, ia selalu memimpikan pergi ke Kampung Inggris Pare dan Bali. Dan ia telah mewujudkannya, sudah dua bulan ia mengambil kursus TOEFL (Test of English as a Foreign Language) di Kampung Inggris, dan Yogyakarta adalah sedikit hadiah liburan yang ia dapatkan. Bukan Bali, tapi Yogyakarta. Sambil menghela nafas, Aci melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Selama empat jam di dalam kereta, pikirannya melayang-layang memikirkan tempat apa yang akan ia kunjungi nanti. Tentu saja ada Candi Prambanan dan Borobudur, tapi ia menginkankan sesuatu berbeda dari liburannya di Jogja.
Ia kini telah berada tepat di hadapan sebuah gedung besar berkilap cahaya, rupanya itu adalah sebuah hotel. Menyadari bahwa ia tidak akan check-in di kamar hotel itu, ia menahan kantuk dan lelah. Harapannya jatuh pada seorang teman yang sudah ia kirimi pesan siang hari sebelum keberangkatannya menuju Jogja. Seorang teman dari Maluku Utara, tempat asalnya.  Temannya itu telah dua tahun berkuliah di Jogja, Astuti namanya. Astuti mengatakan bahwa ia akan dijemput oleh seorang lelaki bernama Apoel yang menggunakan motor mio merah. Aci memperhatikan satu persatu kendaraan yang lewat. Setelah sepuluh menit berlalu, ponselnya bordering. Suara seorang laki-laki menyapanya. Apoel mengatakan bahwa ia berada tepat di samping mobil avanza berwarna silver. Memalingkan wajahnya ke kiri, Aci melihat seorang lelaki muda dengan style Rock N Roll duduk membungkuk di atas motor mio merah. “Apoel yah?” Tanya Aci lega. Beberapa menit kemudian motor mio milik Apoel mengantarkan Aci ke kosan Tuti.
  Setengah mengantuk,  Aci menatap sosok wanita di dinding kamar Tuti. Marsinah pahlawan buruh yang pernah diperkosa dan dibunuh, begitu menurut sejarah. Tentu saja Tuti menaruh poster wanita itu di dinding kamarnya, maklumlah ia seorang aktivis perempuan. Sejak masih studi s1 di Maluku Utara, Tuti selalu aktif dalam setiap pergerakan perempuan. Membela hak-hak perempuan, ia juga aktif menulis tentang perempuan dan kesetaraan gender di majalah kampus. Pagi itu masih berbaring di kasur kamar Tuti yang berukuran dua badan ala anak kos. Aci mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan teman yang mau menampungnya di belahan dunia Jawa, saat ia sedang melarikan diri dari penatnya mengejar skor TOEFL sebagai persyaratan beasiswa di Kampung Inggris. Mereka bertemu karena hal-hal memanusiakan manusia, pada sebuah komunitas yang diberi nama Literasi Jalanan.
“minum teh?”, suara Tuti dari balik pintu kamar. “boleh, kamu dimana?”, sahut Aci sembari bangkit dari tidurnya.
Tuti datang dari balik pintu dengan segelas teh hangat di tangannya,
“hari ini mau kemana?” Tanya Tuti sambil memberi teh pada Aci.
“entahlah, apa kamu punya  saran?” jawab Aci balik bertanya.
“Kamu, bisa jalan-jalan ke Malioboro. Disana banyak batik Yogyakarta, bakpia, pokoknya oleh-oleh khas Yogyakarta. Tapi hari ini, aku tidak bisa menemanimu. Aku harus mengurus penjilidan tesisku dan adminitrasi untuk keperluan wisuda pascasarjanaku. Apoel akan menemanimu, kamu mau?” Tuti berbicara sambil membereskan kamarnya.
“tentu saja, aku sangat senang punya teman baru disini.” Aci menjawab spontan pertanyaan Tuti.
Sore harinya, Aci duduk di bangku seputaran jalan Malioboro bersama lelaki yang baru  saja dikenalnya. Sejak dalam perjalanan, lelaki yang disapa Apoel itu terus menceritakan pengalamannya berada di Jogja. Ia juga menceritakan tentang tempat-tempat yang menjadi objek wisata yang patut dikunjungi di Jogja. Seperti taman Pintar, taman budaya, candi-candi, kali biru, dan air terjun kaliurang, kuliner-kuliner khas Jogja seperti gudeg, dan nasi kucing. Setelah menikmati es durian, mereka lalu lanjut mencari makan siang.
“kamu udah nyobain gudeg atau nasi kucing? Belum lengkap ke Jogja, kalau belum makan dua makanan khas ini”, kata Apoel dalam perjalanan.
“Oh, tidak terimakasih. Katanya gudeg itu manis, aku kurang suka makanan manis, dan nasi kucing?” jawab Aci sambil mengernyitkan keningnya.
Ternyata bukan Cuma di Manado daerah yang mengonsumsi daging kucing, tapi disini juga. Astaga, berarti pria yang menggoncengnya ini adalah pemakan daging kucing. Aci berpikir sambil menggigit bibirnya. Hatinya miris mendengar ada seseorang yang mengajak memakan daging kucing saat dia adalah wanita pencinta kucing. Ia jadi teringat dengan Bobo, kucing putih di rumahnya yang sangat penurut. “apa kita tidak bisa makan yang lain? Atau lebih baik kita beli sayuran dan ikan, akan ku masak di kosan Tuti, bagaimana?” saran Aci.
Beberapa jam kemudian, sayur kangkung dan ikan pindang hasil masakan Aci sudah tersedia di lantai kamar kos Tuti. Bertiga, Aci, Tuti, dan Apoel menikmati makan siang mereka. Saat menyantap makanan, Aci teringat pada nasi kucing yang dibicarakan Apoel, tapi ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mencuil daging ikan dan menyantapnya perlahan. Pikirannya masih melayang-layang pada nasi dengan daging kucing. Bagaimana makanan itu dibuat? Bagaimana cara mereka menyembelih kucing? Membersihkan bulunya? Membayangkan semua itu membuat Aci ingin muntah. Bagaimana mungkin kota yang begitu istimewa yang khas dengan batiknya itu, masyarakatnya memiliki budaya aneh yaitu memakan daging kucing.
“datang ke Yogyakarta tapi nggak nyobain nasi kucing, mending nggak usah ke Jogja deh.” Kata apoel sambil menghabiskan suapan nasi terakhirnya.
“apa kalian bisa makan daging kucing? Apa kalian tidak jijik? Atau mengkin mengasihani kucing yang dibunuh itu? Jawab Aci spontan.
Tuti dan Apoel kompak membelalak pada Aci.
“tentu saja, kenapa tidak? Daging kucing sangat enak apalagi kalau di tambah sambal atau disaos. Hmmmm.” Tuti menjawab sambil meneguk es tehnya.
“iya, betul, daging kucing benar-benar enak.”sambung Apoel. “tidak, tidak aku tidak akan mencoba nasi kucing, meskipun itu kebiasaan masyarakat disini. Aku adalah pencinta kucing.”  Aci marah-marah.
“ya sudah ini kan hanya saran buat kamu.” Apoel mencoba menenangkan Aci.
Malam itu waktu menunjukkan pukul 8 saat Aci, Tuti dan Apoel sudah neces dengan pakaiannya. Setelah makan siang, mereka sepakat untuk nongkrong di angkringan (sebutan untuk warung kecil di pinggir jalan di daerah Jogja) terdekat saat malam tiba. Menit selanjutnya mereka bertiga sudah berada pada angkiran terdekat yang berada di pinggir jalan. Warung kecil berukuran 3x4 itu dibuat dari tenda dan  kayu. Lampu di warung kecil itu agak redup, tapi inilah yang menjadikan tempat ini nyaman, karena ketika lampu di angkiran itu redup. Pengunjung dapat menyaksikan gemerlap Jogja diluar. Aci dan  tuti, keduanya sibuk dengan handphone mereka, sementara Apoel sedang memesan pesanan mereka, beberapa menit kemudian penjual angkirangan itu datang membawa pesanan mereka dibantu oleh Apoel.  Kopi untuk Apoel dan Tuti, serta wedang jahe (minuman hangat yang dicampur jahe dan gula)  pesanan Aci. Semenjak dari Kediri Aci memang sudah menyukai wedang jahe, sementara Tuti dan Apoel adalah pecinta kopi. Apoel membawa 3 bungkusan kecil dan gorengan di piring lalu meletakkannya di meja kecil tempat ketiganya sedang duduk.
“wah, gorengan, asyik! Tempe goreng” Aci berkata sambil mengambil tempe. Belum selesai mengunyah tempe Aci mengambil bungkusan kecil di depannya.
”apa ini?” ia bertanya sembari membuka bungkusan. Bungkusan kecil dari kertas itu, didalamnya terdapat daun pisang, daun itu digunakan untuk membungkus sambal teri dan tempe bersama nasi. Aci sangat menyukai teri. Ia langsung melahap isi bungkusan tadi. Tuti dan apoel menatap Aci lama dan kemudian tertawa bersama-sama.
“kenapa? Ada yang aneh? Nasi ini sangat enak.” Sahut Aci membalas Tawa mereka.
“yang kamu makan itu nasi kucing Ci.” Kata Apoel sambil terus tertawa.
“Apa? Ini nasi kucing?” Tanya Aci tak percaya.
“iya, chy nasi kucing yang apoel ceritakan itu ya ini. Masyarakat jogja menyebutnya nasi kucing karena nasinya sedikit seperti makanan kucing. Nasi kucing ini terdiri dari berbagai macam lauk. Jenis lauk yang disediakan biasanya ikan dan tempe. Bahan lain yang dapat ditambahkan yaitu telur, ayam, dan mentimun. Disajikan dengan daun pisang dan bisa langsung disantap. Variasi dari nasi kucing adalah sego macan (nasi macan), ukurannya tiga kali lebih besar dibandingkan nasi kucing. Biasanya disajikan dengan nasi yang dibakar, ikan, dan sayuran. Seperti nasi kucing, sego macan juga dibungkus daun pisang. Nasi ini tersedia di setiap angkiran di Jogja dan terbilang murah” Tuti mencoba menjelaskan.
“ku pikir nasi kucing itu nasi yang dimasak dengan daging kucing, soalnya di daerah Manado ada yang seperti itu.” Aci tersipu malu.
Malam itu berakhir dengan gelak tawa Apoel dan Tuti.

Asri

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post (Slider)

Combine

Horizontal

My Gallery

Portfolio

Contact us

about me

Foto saya
Ternate, Maluku Utara, Indonesia
Saya adalah seseorang yang akan mencuri waktu untuk menulis

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Pages

Flickr Images

Like us on Facebook

Top 10 Articles