Cerpen: KONTEMPLASI KEMERDEKAAN

by 08.11 0 komentar

Namaku Asri. Aku masih ingat waktu kecil teman-teman sebayaku memberi kepanjangan untuk namaku, Anak Sekolah Republik Indonesia (ASRI). Memang benar aku bersekolah di Indonesia. Namun, dari kecil mimpiku adalah bersekolah di luar negeri, Eropa tepatnya. Bagiku, Benua Biru itu begitu memesona, jauh berbeda dengan tempat kelahiran dan tempat aku dibesarkan.
Aku lahir di Kota Sorong, provinsi Papua Barat di Timur Indonesia. Ayahku adalah Pegawai Negeri Sipil Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Sorong. Aku dibesarkan di sebuah desa kecil yang disebut SP (Satuan Pemukiman). Ibuku adalah ibu rumah tangga biasa, yang punya pekerjaan bahkan lebih berat dari ayah. Ibu harus mengangkat air bersih dengan jarak yang lumayan jauh untuk keperluan sehari-hari kami, dikarenakan sumber air bersih di desa kami sangat terbatas.
. . .
16 AGUSTUS 2018
“Apa yang kamu pikirkan?” Ucap Munir mengagetkanku.
“Hmm, tidak.” Gumamku sambil terus memikirkan masa lalu sembari merasakan dinginnya air dari pancuran gua yang berlumut. Air yang jelas berbeda dengan air di desaku.
Aku dan Munir  di salah satu objek wisata yang cukup terkenal di Bali, air terjun tukad cepung di Bangli. Bali siang itu sama seperti biasanya, selalu ramai dengan turis lokal maupun mancanegara.
“Air terjun Tukad Cepung Bali.” Munir bergumam sambil memotret dengan telepon genggamnya.
Munir berasal dari Rusia. Kami telah saling mengenal 2 bulan, sejak ia menyewa kamar yang sederetan dengan kamarku. Ia telah 1 tahun belajar Bahasa Indonesia secara otodidak. Ia bekerja sebagai penerjemah di salah satu perusahaan di Bali.
 “Besok adalah hari kemerdekaan Indonesia bukan?” Tanya Munir saat kami melangkah keluar dari kawasan air terjun.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Pasti akan ada upacara, apa kau akan menghadirinya?” Sambungnya.
“Mungkin aku akan tertidur besok.” Spontan aku merespon.
Tiga puluh menit kemudian, aku dan Munir berada di salah satu kedai kecil di Kuta. Munir segera memesan jus sirsak kesukaannya.
“Kau sangat beruntung lahir di Indonesia, di negaraku kami tidak memiliki tanaman seperti sirsak, mangga, apalagi pepaya.” Ujar Munir memulai percakapan sambil menikmati minumannya dari sedotan.
“Lalu, kalian sering makan buah apa?” Penasaran aku bertanya.
“Kami hanya memiliki apel dan jeruk, semua di impor dari Meksiko atau Turki. Satu hal lagi, kami tidak memiliki pantai seperti di sini.” Jelasnya.
Mendengar kata pantai,  aku jadi teringat Raja Ampat. “Apa kau pernah dengar tentang pulau Raja Ampat?”
“Tidak!” Tandasnya.
“Pulau itu berada di Timur Indonesia, di Papua. Pantainya sangat indah.” Terangku.
“Aku akan jadi orang yang sangat beruntung jika bisa ke tempat itu” Kata Munir gembira.
Belum lagi aku menjelaskan bagaimana Pulau Raja Ampat lebih lanjut, Munir sudah memberi pernyataan kegembiraannya, seakan dia tahu keindahan pantai dan senja di sana. Seakan dia juga tahu bahwa tempat aku dibesarkan tidak jauh dari Raja Ampat. Tapi, tentu saja aku tidak akan mengatakannya. Selama ini, aku tidak pernah memberitahu siapa pun dari mana aku berasal. Terlebih lagi kepada teman mancanegaraku. Mereka akan sangat bertanya, apalagi tidak ada situs dalam Bahasa Inggris yang menyediakan informasi tentang desa kecilku di google.
Malam itu, kami lalui dengan berdiskusi tentang beberapa daerah di Indonesia. Setelah pukul 10 malam, kami lalu pulang dan beristirahat. Aku pulang dengan tanda tanya besar, tentang Munir dan pemikirannya. Kenapa ia begitu antusias dengan negeriku. Jika ku bandingkan dengan kota Moscow yang memiliki sejuta bangunan unik yang megah, dia seharusnya antusias menarasikan negerinya. Meskipun aku belum pernah ke sana, tapi semua orang tahu bahwa Rusia adalah Negara maju yang memiliki persenjataan dan politik hebat yang bahkan ditakutkan Si Adi Kuasa, Amerika Serikat.
. . .
17 AGUSTUS 2018
Pagi hari pukul 9, aku terbangun karena suara bising di kompleks tempat aku tinggal.
“Sudah bangun? Ini aku Munir, ayo bangun! Ada kabar baru. Tidak ke upacara?” Sambil teriak, Munir mengetuk pintu kamarku.
“Iya-iya” Sahutku malas.
Setelah mencuci muka dan mengganti piamaku. Aku kemudian membukakan pintu untuknya.
 It’s not your business, ada apa?” Jawabku kesal karena masih sangat mengantuk.
“Kau tidak lihat? Di you tube sedang viral seorang anak memanjat bendera.” Sambung Munir sembari menunjukkan smartphonenya padaku.
“Maksudmu tiang bendera?” Tanyaku sambil tetap menatap layar handphonenya.
Di layar ukuran 5 cm itu,  aku melihat seorang anak yang sedang memanjat tiang kecil sangat tinggi.
“Apa yang terjadi?”
“Lihat saja, dia akan mengambil tali itu, talinya putus saat proses upacara.’’ Jawab Munir.
Video berdurasi pendek itu menunjukkan atraksi seorang anak kecil memanjat hingga ujung tiang bendera dan membawa talinya lalu turun dengan senyuman.
“Dia berasal dari Nusa Tenggara Timur, aku sangat ingin kesana.” Kata Munir antusias sembari berjalan ke arah kamarnya.

Beberapa menit setelah menikmati sarapan pagiku, aku mulai merasa penasaran dengan video yang ditunjukkan Munir padaku. Aku mulai mencari di google.
Pada proses upacara ke-73 tahun di provinsi Nusa Tenggara Timur, upacra sempat terhenti dikarenakan insiden terlepasnya tali dari tiang bendera.  Seorang anak bernama Joni memanjat tiang bendera setinggi 23 meter demi kelancaran upacara. Joni adalah seorang siswa SMP kelas VII di Desa Silawan Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, yang merupakan perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Ia sontak memanjat tiang bendera untuk memperbaiki tali yang putus. Aksi heroik Joni adalah bentuk rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Untuk penghargaan terhadap Joni, besok ia akan dipertemukan dengan presiden Indonesia Jokowi. Ketika ditanya apa yang akan ia minta dari jokowi, Joni mengatakan ia ingin Jokowi menambah  ruangan sekolahnya yang sangat terbatas. Karena selama ini ia dan kawan-kawan harus bersekolah di siang hari akibat keterbatasan ruangan, ia juga ingin pendidikan gratis untuknya dan teman-temannya.
Begitulah informasi yang aku dapatkan. Seketika mataku berair. Cerita tentang Joni adalah pelajaran kemerdekaan. Untukku secara pribadi, aksi yang dilakukaan Joni adalah reinkarnasi kepahlawanan yang menjadi refleksi untuk diriku dan membuatku berkontemplasi.
KONTEMPLASI PERTAMA
Memang tidak salah bermimpi bersekolah di luar negeri. Namun, menganggap superior benua atau negara lain adalah salah. Inilah negeriku, Bumi Pertiwi.  Tempat ragaku menghirup oksigen, tempat sanubariku mendapat cinta. Seharusnya, aku mencintai negeri ini. Jika Munir saja mengagumi negeriku. Lalu bagaimana denganku? Betapa bodohnya aku selama ini membanggakan negeri lain.
KONTEMPLASI KEDUA
Aku harusnya tidak malu menceritakan dari mana aku berasal kepada teman-temanku. Meski dari desa kecil yang bermasalah dengan sumber air bersih. Aku juga perlu ingat dan bersyukur tentang sungai jernih yang tak jauh dari rumah, pohon mangga di samping rumah yang selalu berbuah manis, dan rumput liar yang ternyata adalah sayuran yang bisa dimasak.  Aku harusnya bangga, dengan alam Indonesia, terlepas dari keterbatasan yang dimiliki. Negeriku ini, begitu masyhur dengan keindahannya, yang unik dan berbeda dari tempat lain dibelahan dunia manapun..
KONTEMPLASI KETIGA
Sepantasnya aku melakukan sesuatu untuk negeri ini, seperti yang dilakukan Joni kecil. Bukankah Joni tinggal di daerah perbatasan yang benar-benar terbatas? Tapi Joni tetap menghadari upacara di 73 tahun kemerdekaan, meski mungkin saja dia tidak sarapan dan tidak memiliki seragam dan sepatu yang layak.  Aku menyesal tak pernah menghadiri upacara setelah tamat dari SMA. Malu pada diriku sendiri. Padahal aku tahu benar melalui pelajaran sejarah yang ku dapat semasa bersekolah,  bagaimana sejarah berdarah perjuangan kemerdekaan dan gugurnya para pahlawan di negeriku.  
KONTEMPLASI AKHIRKU
Kemudian terpatri di dadaku akan terus melanjutkan mimpi bersekolah di luar negeri. Tapi kali ini berbeda, entah dimanapun itu. Aku akan pergi. Aku akan menuntut ilmu sejauh mungkin demi negeriku dan pulang membagikannya kepada generasi penerus bangsa yang lain. Agar negeriku lebih maju, agar segala keterbatasan dapat diatasi. Aku akan bermimpi dan mewujudkannya demi Bumi Pertiwi, tempat badanku berpijak dan akhir ragaku akan ditanam. Untuk kemerdekaan ini, terimakasih karena telah menjadi kontemplasi panjangku.


"Cerita fiktif ini ku buat berdasarkan fenomena banyaknya remaja masa kini yang kurang mencintai negerinya sendiri. Juga berdasarkan cerita Joni yang viral di media sosial."

Asri

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post (Slider)

Combine

Horizontal

My Gallery

Portfolio

Contact us

about me

Foto saya
Ternate, Maluku Utara, Indonesia
Saya adalah seseorang yang akan mencuri waktu untuk menulis

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Pages

Flickr Images

Like us on Facebook

Top 10 Articles